Rabu, 21 November 2012

Sisi Lain Demo Buruh Dan Kenaikan UMP

Sisi Lain Demo Buruh Dan Kenaikan UMP | Seperti kita ketahui semakin maraknya Demo para buruh di beberapa kota di Indonesia mulai dari Kota Serang ,Kota Banten,Kota Medan ,Ibukota Jakarta dan kota-kota lainnya yang pada intinya menuntut kelayakan upah yang diterima sebagai buruh

Hari ini, Jakarta akan dihebohkan dengan demo puluhan ribu buruh yang akan menuju Istana Negara dan gedung DPR Senayan. Diperkirakan 40 – 50 ribu buruh siap dikerahkan. Ini adalah aksi buruh entah yang keberapa kali dalam setahun ini. Sejak awal tahun 2012, tercatat sudah beberapa kali demo buruh besar-besaran yang selalu berakhir anarkhis : pemblokiran jalan toll, pengrusakan fasilitas umum, “sweeping” pabrik sampai penyanderaan ekspatriat dan manajemen perusahaan.


Kemarin, Selasa, 20 Nopember, buruh se Jawa Timur menduduki Gedung Grahadi Surabaya. Karena Gubernur Jatim Soekarwo tak ada di tempat, buruh mengamuk dan bertindak anarkhis. Begitupun Rabu, 21 Nopember, berita TV banyak menayangkan aksi demo buruh di berbagai daerah yang umumny aberakhir ricuh. Ada yang di Serang dan Tangerang, ada di Medan dan beberapa kota di berbagai propinsi.
Issu yang diusung menjelang akhir tahun begini pastilah soal tuntutan UMK. Sejak UMK DKI 2013 disetujui menjadi sebesar Rp. 2,2 juta rupiah alias naik sebesar 43% dari UMK 2012, maka bergolaklah daerah lain menuntut hal yang sama. Tangerang yang masuk wilayah Jabodetabek meminta disamakan dengan UMK DKI. Kalau Tangerang disetujui, akan berdampak pada kota-kota lain di Propinsi Banten, seperti Serang, Cilegon dan Pandeglang. Begitu pun jika UMK Bekasi disamakan dengan DKI,maka dampak ikutannya akan berpengaruh pada kota lain di Jawa barat.

Bahkan jawa Timur yang jauh jarakny adari Jakarta, menuntut UMP sama dengan Jakarta, Rp. 2,2 juta. Bukan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) lho, tapi UMP (Upah Minimum Propinsi). Artinya, se-Jatim minta disamakan. Kalau Surabaya sebagai kota metropolitan dan sekaligus pusat industri, saya masih bisa paham dengan tuntutan itu. Begitupun jika menular ke Sidoarjo dan Gresik, 2 kota penyangga di sekitarnya yang juga pusat industri, masih bisa dimengerti. Tapi bagaimana mungkin kota kecil seperti kota masa kecil saya Bondowos di ujung timur Jatim, minta UMK disamakan juga dengan Jakarta? Masih banyak kota kecil lain di jatim yang tidak produktif industrinya. Yang nota bene biaya hidup di kota itupun relatif jauh lebih murah. Masuk akalkah jika tuntutannya minta disamakan dengan Jakarta?
————————————————————–

Diakui atau tidak, penetapan UMK di suatu daerah pasti bersifat politis dan populis. Kita tentu masih ingat ketika akhir tahun lalu buruh Bekasi menuntut UMK Kabupaten Bekasi naik tinggi, karena sang Bupati incumbent yang mau maju lagi dalam Pilbup menjadikan “UMK tinggi” sebagai salah satu “prestasi” yang jadi jualan kampanyenya. Lalu di Banten, Gubernur Banten yang telah menandatangani penetapan UMK 2012 pada 21 Nopember 2011, kemudian menganulir sendiri keputusannya dan mengubah secara sepihak tanpa melibatkan Dewan Pengupahan Propinsi maupun Daerah serta Apindo pada Januari 2012 karena buruh se-Tangerang menduduki kantor Gubernur tepat sehari menjelang pelantikan Atut dan Rano. Malam itu juga Atut menandatangani SK Gubernur yang merevisi SK Gubernur sebelumnya.

Tahun ini, 3 propinsi di Jawa akan menggelar Pilgub. Dan 3 Gubernur incumbent sudah pasti bakal maju lagi dalam Pilgub. Mereka tentu butuh massa, butuh dukungan, maka kebijakan populis terkait UMK bisa jadi senjata ampuh mendulang simpati kaum buruh dan keluarganya. Tentu tak salah jika kebijakan itu tak melulu populis tapi sudah diperhitungkan dengan matang dan masuk akal termasuk dipertimbangkan faktor resikonya bagi kedua belah pihak : buruh dan pengusaha.

Mari kita sama-sama berhitung : kalau UMK naik 43%, maka kenaikan personnel cost atau biaya tenaga kerja sejatinya lebih dari itu, bahkan bisa mencapai 55 – 60%. Lho, kok bisa? Bisa saja, karena UMK hanyalah upah pokok saja. Sedangkan komponen gaji terdiri dari beberapa elemen. Ada uang makan, uang transport, uang shift, uang lembur, insentif produksi, yang besaran maupun jenisnya tergantung dari kebijakan masing-masing perusahaan. Selain itu perusahaan masih harus mencadangkan THR 1x upah pokok (1/12 UMK) dan cadangan pasca kerja minimal 1x upah pokok juga. Belum lagi premi Jamsostek yang totalnya bisa mencapai 10,89% untuk pekerja yang berkeluarga dan 7,89% untuk pekerja lajang. Indeks lembur, cadangan THR dan pasca kerja, iuran Jamsostek, semuanya dihitung dengan basis UMK. Itu sebabnya kalau UMK naik, maka naik pulalah komponen-komponen itu. Jelas kenaikan beban biaya tenaga kerja bisa jauh di atas UMK.

Itu baru bicara pekerja yang upahnya sebatas UMK saja. Padahal, di perusahaan tersebut pasti ada pekerja yang tadinya upahnya sudah di atas UMK. Akibat kenaikan UMK, maka perusahaan harus pula membayar “upah sundulan”, yaitu kenaikan upah bagi pekerja yang tadinya gajinya di atas UMK lama, agar tak tersundul oleh pekerja yang UMK-nya naik. Maka tak heran jika total konsekwensi yang harus ditanggung perusahaan bisa naik sampai 60%-an, hanya dari aspek biaya tenaga kerja saja. Makin padat karya suatu industri, makin banyak pekerjanya, makin besar pula beban kenaikan yang harus ditanggung.

Di sisi lain, net profit alias laba bersih perusahaan belum tentu naik sebesar itu. Begitupun market sales-nya belum tentu berkembang sampai 60%. Ditengah kondisi perekonomian nasional yang tingkat pertumbuhannya sampai triwulan II tahun 2012 hanya 6,4% saja, adakah industri/sektor usaha yang kenaikan laba bersihnya bisa mencapai 60%? Atau meluaskan pasarnya sampai 60%? Bahkan tingkat ekspor kita pun turun 8,55%. Nah, kalau negara saja hanya bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi sekitar 6,4% dan hanya berani mentargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2013 hanya 6,8%, kenapa sektor swasta dibebani kewajiban sedemikian tinggi? Sedangkan bunga simpanan perbankan saja kisarannya hanya 12% setahun.

Pintu gerbang perusahaan tempat kerja teman saya yang roboh akibat di sweeping para buruh dari pabrik di sekitarnya (foto : kiriman teman)
Tentunya tak heran jika banyak pengusaha menyatakan keberatan dan sebagian perusahaan kelas menengah dan kecil sudah terancam akan melakukan PHK karena tak mampu membayar upah yang naik sedemikian tajam. Mungkin hanya perusahaan besar dengan modal kuat atau perusahaan asing saja yang mampu terus survive. Itupun kalau mereka tak berpikir mengalihkan investasinya ke Vietnam, China dan Korea.

Memang, sesuai Kep.Menaker nomor 231/MEN/2003, pengusaha yang tidak mampu bisa mengajukan penangguhan pembayaran UMK baru. Tapi salah satu syaratnya melampirkan naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.  

Apa iya ada serikat buruh mau diajak bersepakat meminta penangguhan? Itu saja tidak cukup, masih harus dilampiri laporan keuangan, neraca rugi/laba, perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 tahun terakhir dan rencana 2 tahun ke depan. Itupun hanya perusahaan yang selama 2 tahun terakhir merugi yang akan dikabulkan. Intinya : perusahaan yang masih untung – tanpa mempertimbangkan berapa prosentase net profit – tetap harus mengikuti UMK yang baru. Ekstrimnya : untung cuma 10% pun harus menaikkan upah 43%.
——————————————————————
Di sisi lain, demo buruh yangterjadi selama setahun terakhir ini sebenarnya sudah sangat jauh menyimpang dari hak mogok yang dijamin oleh UU Ketenagakerjaan nomor 13/2003. Buruh/pekerja memang boleh melakukan 

Saat penetapan UMK 2012 lalu, perusahaan tempat kerja teman saya yang kebetulan milik Amerika, sejak awal sudah bersepakat dengan buruhnya bahwa perusahaan akan mematuhi apapun keputusan Pemerintah tentang UMK. Buruhnya pun sepakat sehingga mereka tak perlu berdemo karena yakin perusahaannya akan patuh. Tapi apa daya, ketika gelombang aksi buruh besar-besaran di awal tahun 2012 melanda Cikarang, perusahaan itu ikut di-sweeping bahkan sampai pagarnya ambruk dirusak massa buruh pabrik lain, yang memaksa agar burruh di perusahaan itu ikut demo.

Begitu pula perusahaan customer kami yang bergerak di bidang industri kimia, produknya gas cair (air liquide). Perusahaan yang dipimpin Korea ini sejak awal memang sudah bagus pengupahannya, sehingga buruhnya tak perlu ikut berdemo. Ketika Cibitung dilanda demo buruh, perusahaan itu ikut dikepung bahkan massa buruh beringas merangsek masuk naik motor dengan kondisi mesin motor tetap hidup, padahal itu daerah terlarang karena area sangat berbahaya,rawan kebakaran. Sampai pimpinannya terpaksa keluar dan buruhnya pun disuruh ikut demo demi keselamatan pabrik mereka.

Sebaliknya, jika ada industri kecil padat karya yang memang belum mampu dan para pekerjanya menyadari batas kemampuan perusahaannya dan tak ingin menunut banyak, asal tetap bisa bekerja dan perusahaan tetap survive, kenapa pula buruhnya dihasut agar ikut berdemo dan dikompori agar menuntut? Sehatkah cara-cara menghasut seperti ini? Kenapa buruh yang tak ada masalah dengan perusahaannya dipaksa ikut demo bahkan diancam dirusak jika tak ikut?

Kini, perusahaan yang merasa tak mampu mengejar tingginya kenaikan UMK, sudah berancang-ancang akan mogok massal. Setidaknya 100 perusahaan dari 23 sektor industri sudah menyatakan akan melakukan lock out, hak yang juga dijamin UUK nomor 13/2003. Jika buruh saja kebablasan menggunakan hak mogok menjadi demo dan unjuk rasa, lalu kenapa pula pengusaha dihimbau untuk tak menggunakan haknya untuk lock out?

mogok kerja, tapi di area tempat kerja dan tentunya hanya melibatkan buruh di perusahaan tersebut saja. Bukan berarakan memacetkan jalan raya, menutup jalan toll, apalagi memaksa buruh perusahaan lain untuk ikut bahkan sampai di-sweeping segala kalau tak mau ikut. Sekali lagi : yang dijamin UU adalah hak mogok, BUKAN hak demo. Jika berdemo, ijinnya lain lagi, yaitu ijin unjuk rasa yang diatur dalam UU tentang hak mengemukakan pendapat, yang tentu saja tetap tak membenarkan aksi anarkhis, pengrusakan dan penyanderaan.


Saya jadi ingat kisah yang pernah disampaikan Pak Habibie dulu, ketika beliau masih menjadi Dirut saya. Ada seorang petani yang memiliki seekor itik bertelur emas. Setiap hari itik itu hanya bertelur sebutir. Petani itu menjual telur emasnya dan uang itu dia pakai untuk menghidupi keluarganya. Suatu hari, si petani berpikir : seandainya kubedah perut itik ini, tentu didalamnya ada banyak telur emas dan aku akan jadi kaya. Maka, diambillah pisau dan disembelihlah itik itu untuk dibedah perutnya. Betapa kecewanya petani itu, ketika ternyata di dalam perut itik memang hanya ada satu saja bakal telur emas. Kini, itik itu sudah mati dan ia punya lagi sumber telur emas. Di akhir pesannya, Pak Habibie mengajak agar karyawan mau “merawat” perusahaan dengan tidak menuntut terlalu tinggi di atas batas kemampuan perusahaan. Bukankah kalau perusahaan bangkrut, tutup atau PHK massal, pekerja juga yang rugi?

Entah bagaimana masa depan industri di Indonesia tahun-tahun depan. Kalau tahun 2012 UMK naik sekitar 21%, kini 2013 naik 43%, kira-kira tahun 2014 yang merupakan “tahun politik” akan naik sampai berapa persen? Para Gubernur incumbent yang ancang-ancang maju lagi pada Pilgub 2013, bisa jadi akan mengambil kebijakan populis, tak peduli dunia industri menjerit dan terancam collapse. Akankah kita bersama-sama menyembelih itik setelah itu tak tahu lagi kemana akan berharap mendapat telur? Katakanlah telur itu bukan emas, tapi setidaknya masih ada telur untuk dimakan. Semoga saja keputusan para kepala daerah bukan keputusan populis yang konyol.
 Sumber