Inilah Nomor Urut Pasangan Cagub Sumut 2013 | Telah Ditabuh, Genta Pilkada Provinsi Sumatera Utara | Secara formal, KPU Sumatera Utara telah menetapkan Bakal Calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara, berikut ‘perahu’ dan atau partai-partai pendukungnya. Kegiatan KPU yang diprogramkan antara tanggal 13 – 15 Desember 2012 ini, termasuk pencabutan nomor urut dari pasangan yang akan ‘berlaga’.
Serta pembentukan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Prov Sumut. Program panjang yang akan berpuncak pada 7 Maret 2013, diikuti dengan penghitungan, penetapan dan pada akhirnya pelantikan Gubernu/Wakil Gubernur terpilih.
- Gus Irawan-Soekirman (GUSMAN) mendapat nomor 1; berikutnya
- Effendi Simbolon-Jumiran Abdi, bernomor 2,
- Chairuman- Fadly Nursal mendapat nomor 3;
- Amri Tambunan -Rachmat Effendy (RE) Nainggolan, nomor 4 dan
- Gatot-Tengku (GANTENG), nomor 5.
KPU, melalui ketuanya Irham Buana Nasution juga menyatakan bahwa seluruh pasangan telah memenuhi persyaratan administrasi, maupun persyaratan kesehatan. Tak heran manakala masing-masing pasangan segera meningkatkan speed usahanya untuk merebut kursi BK-1 dan BK-2 tersebut.
Cagub Gus Irawan yang sempat khawatir tak dapat ‘perahu’ namun bertekad maju terus, kemudian menjadi lebih PD (Percaya Diri) setelah dipasangkan dengan Ir. Soekirman, Wakil Bupati Serdang Bedagai (Sergei), tokoh PAN. Bersama dengan Gus Irawan, berhasil merangkul Gerindra, bahkan 23 partai-partai pendukung lainnya.
Berikutnya Effendy Simbolon, anggota DPR-RI, dicalonkan oleh PDI-P, PPRN dan PDS. Ia didampingi oleh Haji Jumiran Abdi, tokoh berambut perak pensiunan PNS dan pernah memimpin Pujakesuma.
Sementara Chairuman Harahap, mantan Jaksa Tinggi Sumut, anggota DPR-RI, dicalonkan oleh Partai Golkar. Ia didampingi oleh Fadly yang konon berasal dari sayap lain PKS.
Amri Tambunan, Bupati Deli Serdang yang juga putera Gubernur Djamaluddin Tambunan, dicalonkan oleh Partai Demokrat. Selain merupakan tokoh Nahdhlatul Ulama (NU), ia juga nampak dicintai oleh warganya yang mayoritas orang Jawa. Bahkan pada waktu acara Suro-an (Suran) di Desa Sena, Kecamatan Batangkuis, yang dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, ia dianugerahi blangkon dan surjan, busana tradisional Jawa yang langsung dikenakannya.
Ia didampingi oleh Rachmat Effendi (RE) Nainggolan, tokoh gereja dan birokrat handal sampai pada jabatan Sekwilda Provinsi Sumatera Utara beberapa saat lalu.
Last but not least adalah Gatot Pujonugroho, incumbent, yang merupakan tokoh PKS dan didampingi oleh Tengku Erry Nuradi, Bupati Serdang Bedagai (Sergei). Sebagai incumbent ia diduga mempunyai peluang paling besar untuk memenangkan percaturan politik kali ini. Maka berguguranlah beberapa tokoh yang sempat ‘jual diri’ melalui poster dan baliho, misalnya Jenderal AY Nasution, Sutan Batoegana Siregar, Benny Pasaribu dan lain-lain. Kini waktunya dana masyarakat bermilyar rupiah akan tumpah demi sepasang jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Pilkada Provinsi Sumatera Utara
Beberapa pekan lalu, melalui Harian Analisa, saya telah menulis artikel tentang Pilkada di daerah lain yang diduga akan ada pengaruhnya dengan penyelenggaraan Pilkada Prov.SU. Diantaranya dibawah judul ‘Pilkada DKI, Bisa Menjadi Barometer Pilkada SU ?’ (16 Juli 2012) dan ‘Peran Partai Politik dalam Pemilukada DKI’ (22 September 2012). Manakala kita berbicara perihal partai politik, meskipun ini adalah institusi politik yang mustahak di dalam penyelenggaraan setiap pemilihan raya manapun, namun ternyata ‘marwah’-nya serasa menurun di mata pemilik suara.
Aspirasi rakyat serasa kurang terakomodasi oleh wakil-wakil dari partai politik yang ada di lembaga perwakilan rakyat. Baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Rakyat tidak berharap terlalu banyak kepada partai politik, akan tetapi justru lebih berharap kepada ketokohan dari pada calon.
Siapapun tahu bahwa dalam pemilihan umum anggota legislative yang akan datang misalnya, tak dapat dijamin bahwa partai politik pada pemilu yang lalu akan dapat mengulangi keberhasilannya – atau kegagalannya pada pemilu yang akan datang. Bahkan dikhawatirkan jumlah golput akan meningkat. Kecuali partai tersebut mendukung tokoh yang mempunyai tipe kepemimpinan yang kharismatis. Apalagi, akan ikut pula partai politik baru misalnya Nasional Demokrat (Nasdem) yang ikut meramaikan pilihan raya tersebut.
Type kepemimpinan seperti Joko Widodo ternyata digadang-gadang untuk dimiliki oleh berbagai daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada di daerah masing-masing. Ketokohan kepemimpinan individual jelas mampu mengalahkan popularitas partai pendukungnya sekalipun. Rasanya harus disadari bahwa meskipun partai politik peserta pemilu jumlahnya berjibun, namun tidak terdapat prinsip ideologis yang berbeda. Bandingkan dengan era pemilihan umum pertama, 1955, yang jelas warna ideologisnya. Bahkan kemudian mengerucut dalam empat partai pemenang pemilu saat itu. Yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI); Nahdhlatul Ulama (NU); Majelis Syuro’ Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tak heran kalau partai-partai tersebut akhirnya terbelah. PNI menjadi PDI, menjadi PDI Perjuangan, terbelah pula menjadi PNI Baru, Partai Pelopor dan lain-lain. Konon bahkan PNI tak dapat memenuhi persyaratan administrasi untuk mengikuti pemilu yang akan datang. Sementara Golongan Karya (Golkar) kemudian menyesuaikan langkah dengan paradigma baru dengan nama Partai Golongan Karya (Partai Golkar), terbelah pula dalam Partai Keadilan (PK), kemudian menjadi Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) dan sekarang Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) disamping diakui atau tidak tumbuh dalam bentuk Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Partai Demokrat (PD) yang sontak menjadi pemenang Pemilu lalu, terkesan terorbit oleh karena kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu memang diharapkan untuk menjadi Presiden. Bagaimanapun asas nasionalis tak lepas dari partai tersebut. Sayang partai ini tak mampu menjaga marwahnya gara-gara banyaknya tokoh-tokohnya yang terlibat korupsi.
Partai-partai yang ‘berideologi’ keagamaan bertabur tak hanya dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berpisah dengan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), berikut PKS, PKB (yang juga pecah lagi), PAN, Masyumi, Masyumi Baru dan lain-lain. Pokoknya meriahlah.
Pentas hukum politik yang dikemas oleh Karni Ilyas, Indonesia Lawyers Club, terkesan mengetengahkan berbagai bentuk perdebatan yang memuji dan mencaci pihaknya sendiri dan lawan politiknya, tanpa memikirkan pihak-pihak yang (sangat) dirugikan oleh karenanya. Misalnya nasabah Bank Century, ulah petugas-petugas perpajakan, kasus Hambalang, kasus BLBI, kasus ….dan lain-lain.
Janji di Sekelumit Masa
Jangankan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Pemilihan lurah saja sarat dengan janji, apalagi pemilihan Gubernur. Kalau di tingkat kelurahan pemilih disuguhi dengan nasi bungkus, entah apa yang akan disuguhkan oleh calon gubernur kepada konstituennya.
Dalam sebuah acara televisi swasta, saya sempat geleng-geleng kepala karena ada calon gubernur di daerah lain, setelah usai wawancara, sempat menjanjikan bantuan 500 juta rupiah untuk 6.000 daerah/wilayahnya. Alasannya, untuk mengurangi kemiskinan.
Janji yang selain sulit ditepati, juga sama sekali tidak efisien, tidak produktif. Tentu saja janji-janji setinggi langit begini masih ditambah dengan money politics. Tak ada yang tak paham akan kenyataan itu. Bahkan ada yang mengusulkan untuk tidak mempermasalahkan money politics, tapi mengakui saja bahwa hal itu memang merupakan cost politics, biaya politik demi tegaknya demokrasi. Maka lazim disebut pesta demokrasi. Entah siapa yang berpesta.
Meski undang-undang sudah menetapkan batasan bagi penyumbang individual maupun cooperation/perusahaan, namun cukup banyak kiat untuk menyiasatinya. Menarik juga barangkali pesan Ketua Umum PDI-P, Megawati, kepada cagub-cawagub Prov SU yang didukungnya, untuk tidak berjanji muluk-muluk. Berikan perhatian khusus bidang kesehatan dan pendidikan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Jokowi. Sayangnya, problematika tiap daerah memang berbeda-beda. Artinya tidak mungkin hanya fokus pada beberapa aspek kehidupan belaka. Lagi pula, setiap daerah tentu berbeda pula Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana Alokasi Khususnya (DAK).
Selamat ‘berlaga’ bagi kelima pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara. Bagi rakyat, lebih suka manakala pilkada selesai satu putaran. Lebih hemat milyaran rupiah. Baik dari dana pemerintah maupun dana sosial/masyarakat. Tapi melihat pasangan-pasangan calon, kelihatannya mustahil dari pada mustajab.
Oleh: Prof. Dr. Subanindyo Hadiluwih SH
Penulis adalah Budayawan dan Guru Besar UMSU Medan.
analisadaily.com