Senin, 31 Desember 2012

Sebab mutu pendidikan menurun





Betapa banyak program yang di rancang untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, Betapa banyak progam kegiatan untuk guru, agar bisa menghasilkan SDM yang bermutu tinggi. Yang jelas tidak terhitung, terobosan dan program yang dicoba untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Tetapi hasilnya bisa kita lihat dan kita bandingkan, antara hasil pelajar zaman dulu dan pelajar zaman sekarang. Sempat terlintas di pikiran saya bahwa program yang dibuat dan di rancang ini, tidak berdasarkan melihat sebab di lapangan, tetapi langsung di rancang dan dibentuk, kemudian memaksakan seluruh komponen yang terkait untuk melaksanakannya. Cobalah diperhatikan beberapa hal uraian tentang sebab mutu pendidikan menurun berikut ini, pasti anda akan melihat secara jelas dan menyadari penyebab mutu pendidikan di Indonesia menurun.


1. Beban yang diberikan kepada siswa maupun guru.
Dari pemerintah pusat mungkin sudah mengatur agar jumlah jam belajar dalam sehari cukup dari jam 06.30 sampai dengan jam 11.30. (ya kira-kira 5 jam). Tetapi pada kenyataannya di lapangan para siswa baru  pulang ke rumahnya sore hari (sekitar jam 14.30). Karena adanya program sekolah seperti bimbel dan extrakurikuler. Terkadang bahkan setelah pulang sekolah masih ada kegiatan les di luar sekolah. Sehingga waktu yang di miliki siswa dalam sehari selama berada di rumah adalah sekitar  3 jam (setelah di potong untuk istirahat). Memang tidak masalah di adakannya kegiatan extrakurikuler dan kegiatan lainnya hanya saja. tidak harus membuat siswa setiap hari harus pulang sore. Tentu hal seperti ini menjadi beban buat siswa, dan berdampak pada semangat belajarnya.

Adapun beban dari sisi guru, adalah adanya kegiatan selain mengajar yang menyita waktu guru untuk berkonsentrasi dalam menyiapkan materi kepada siswa. Kegiatan di luar megajar guru tersebut seperti, membuat RPP, Silabus, dan perangkat pembelajaran yang lainnya. dan ini memang program pemerintah, yang katanya bertujuan agar pada proses belajar mengajar bisa berjalan lancar. dan tentunya diharapkan bisa meningkatkan mutu pendidikan.. (katanya lo..). Tetapi pada kenyataannya lembar demi lembar dari perangkat pembelajaran yang dibuat tidak bisa membuat mutu pendidikan lebih maju. Bahkan guru lebih sibuk mengurus perangkat pembelajaran ketimbang mengajar di kelas. Saya sampai sekarang tidak habis pikir, kumpulan lembaran kertas dari rancangan pembelajaran yang dibuat setiap harinya bahkan sampai bergadang bisa menyebabkan mutu pendidikan meningkat ??.  Bukannya malah mengganggu konsentrasi guru sebagai mesin pendidikan. Sebuah mesin otomotif saja jika di beri beban yang banyak bisa rusak, apalagi guru yang hanya manusia biasa.

Solusi menurut saya, coba berikan kebebasan kepada setiap unit sekolah untuk berkreasi dalam dunia pendidikan tanpa terikat dengan program tertentu. Cukup di beri indikator materi yang akan di capai dalam setiap tingkatnya. Kemudian di adakan adu keberhasilan dengan sistem uji silang antar sekolah. Bagi sekolah yang berhasil dalam mendidik siswanya maka akan diberi penghargaan atau tambahan gaji bagi sekolah yang berprestasi tersebut, sehingga setiap sekolah akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya.

2. Tingkat kejujuran para guru dan badan yang terkait.
Menurunnya tingkat kejujuran dalam sistem pendidikan berbanding lurus dengan menurunnya mutu pendidikan. Ketidakjujuran yang di maksud adalah mengenai hasil ujian di setiap sekolah. Bayangkan siswa yang mendapat nilai rata-rata dari setiap ujian yang dia ikuti adalah 30, tetapi kemudian berubah, karena beberapa hal berikut :
  • Guru takut di anggap tidak bisa mengajar maka nilai siswa di naikkan menjadi 70.
  • Wali kelas takut kalau nanti ada orang tua marah pada saat pembagian raport sehingga nilai berubah 70.
  • Karena siswa tersebut anak pejabat maka berubah menjadi 70.
  • Untuk menjaga nama baik sekolah, maka nilai berubah menjadi 70.
  • Kawatir mutu pendendidikan di daerahnya menurun, maka pihak dinas terkait memaksa agar nilai berubah menjadi 70.
Ketidakjujuran ini ternyata berdampak pada siswa yang kurang pintar dan siswa yang pintar. Karena siswa yang bodoh akan meneruskan kebodohannya toh nanti nilainya tetap bagus. Dan siswa yang pintar ikut tidak mau susah-susah belajar toh nilainya di jamin bagus.

Seperti yang kita ketahui guru itu tiang utama penentu susksenya mutu pendidikan yang ingin di capai. tetapi bersamaan dengan fungsinya tersebut guru dan badan terkait secara tidak langsung juga merusak mutu pendidikan yang ada ingin di capainya.