CITRA DANAU TOBA POPULER DI NEGERI BELANDA TAPI TERABAIKAN DI NEGERI SENDIRI
‘GA NIET STERVEN VOOR DAT JE HET TOBA MEER HEB GEZIEN..’ Kalimat berbahasa Belanda itu ternyata masih rutin terdengar di negeri itu, khususnya dalam setiap berbagai forum atau pertemuan atau minimal wicara tentang pariwisata, terutama dalam setiap topic dan rencana perjalanan pelancongan ke Indonesia.
‘GA NIET STERVEN VOOR DAT JE HET TOBA MEER HEB GEZIEN..’ Kalimat berbahasa Belanda itu ternyata masih rutin terdengar di negeri itu, khususnya dalam setiap berbagai forum atau pertemuan atau minimal wicara tentang pariwisata, terutama dalam setiap topic dan rencana perjalanan pelancongan ke Indonesia.
Arti kalimat itu adalah: “Jangan mati sebelum injak Danau Toba walau sekali sajapun….”
“Pesan itu akhirnya menjadi semacam semboyan yang masih terus dilontarkan kalau ada rencana paket kunjungan wisata ke Indonesia, khususnya dalam pilihan paket wisata ke Pulau Sumatera. Ada sejarah tersendiri yang membuat Danau Toba cukup popular di Belanda. Sehingga potret atau foto Danau Toba yang khas dengan gambaran pulau Samosir di atasnya, banyak diabaikan di rumah-rumah warga Belanda, walaupun foto itu cuma berupa guntingan dari brosur atau leaflet saja”, ujar Essie Gultom (40 tahun), seorang wanita cantik aktivis LSM asal Belanda yang beberapa tahun lalu sudah menjadi warga negara Indonesia setelah dipersunting pemuda Batak marga Lumbanraja.
Dia mengutarakan hal itu kepada pers di sela-sela diskusi khusus wacana pembentukan badan otorita Danau Toba, yang mengangkat topik dan pasal demi pasal dari draf Peraturan Presiden tentang Penataan Kawasan Wisata dan Lingkungan Danau Toba, yang disosialisasi melalui Badan Kordinasi Pelestarian Ekosistem Danau Toba (BKP-EDT) di kantor LSM Save The Tao, Medan, Jumat (15/1).
Hadir pada acara itu antara lain kordinator Forum Masyarakat Peduli Danau Toba (FM-PDT) Sumut Mangaliat Simarmata SH, konsultan pariwisata Ir Jonathan Ikuten Tarigan, Parlin Manihuruk, Ir Raya Timbul Manurung dari IMT-GT Sumut, Maranti Tobing dari PHRI Samosir, dll.
Salah satu pernyataan prihatin yang menjadi semacam resume diskusi itu adalah realita yang terasumsi sebagai tindak diskriminasi terhadap objek wisata Danau Toba selama ini. Soalnya, sejumlah negara luar ternyata hingga kini masih tetap menominasikan Danau Toba sebagai salah satu objek wisata pilihan mancanegaranya. Wajar kalau objek wisata andalan Sumut itu kemudian popular di sana. Sementara di sini, di negeri sendiri, Danau Toba dinilai banyak orang, termasuk kalangan pariwisata, sebagai objek primadona yang justru diabaikan, dan terabaikan…
TEKAD DALAM CITRA
Kalimat atau pesan,…’GA NIET STERVEN VOOR DAT JE HET TOBA MEER HEB GEZIEN..’ itu, sadar atau tidak, menunjukkan adanya suatu tekad yang perlu atau harus diwujudkan pada akhirnya, yaitu dengan realisasi mengunjungi Danau Toba sebelum (maaf…) ajal tiba. Kalau begitu, betapa hebatnya citra Canau Toba dengan marwah alami dan kisah historinya itu.
“Sejak umur empat tahun saya sudah dengar popularitas Danau Toba, dari para tetangga maupun dari orang-orang sekitar yang memang gemar pelesiran (melancong, piknik). Orang-orang bilang ‘jangan mati sebelum injak atau kunjungi Danau Toba, membuat saya penasaran 30 tahun lebih. Dan saya memang terkesima ketika bisa menyaksikannya sekarang. Indah luar biasa…dan hawanya sejuk, pantaslah digemari orang-orang Eropa setiap musim panas di sana (Belanda). Hanya saja, bayangan saya sedikit meleset karena tidak seramai yang saya bayangkan…”, ujar Essie, yang kini sudah resmi menjadi ‘Boru Gultom’, dan menjadi saudari (ito) Muchtar Pakpahan, tokoh buruh Indonesia itu.
Keinginan melihat langsung dengan mata kepala sendiri, Danau Toba yang disebutkan bagian dari tanah kelahirannya, plus gencarnya promosi keindahan objek wisata utama di pulau Sumatera itu sehingga semboyan atau motto masih dan ternyata terus populer di negerinya, menjadi alasan bagi Essie, pada akhir tahun 2004 lalu berangkat dari Belanda, menuju Indonesia. Hanya saja, mungkin tak perlu diungkap di sini, apakah Essie akhirnya menetap di Indonesia sembari menyandang salah satu marga Toba karena kekagumannya terhadap Danau Toba, atau karena akhirnya jatuh cinta dengan pemuda Toba bernama Sahat Lumbanraja.
Hal yang perlu diungkap adalah fakta pendukung bahwa Danau Toba hingga kini memang masih terus populer di Belanda, atau kawasan Eropa pada umumnya, plus di sejumlah negara lainnya. Mantan Direktur PT Avia Interlinear Tour & Travel yang sejak 1970-1990-an lalu aktif memandu kalangan wisatawan Eropa ke Sumut melalui berbagai paket wisata budaya dan ekorisme, mengakui apa yang dibilang Essie, bahwa nama Danau Toba…dan Berastagi di Tanah Karo … memang tak bisa lepas dari memori warga Belanda.
Ungkapan serupa juga dicetuskan Jonathan Ikuten Tarigan.
Bahkan terkesan dengan nada ekstrim dan radikal dia bilang, pemerintah Indonesia mulai dari tingkat pusat hingga daerah (propinsi dan kabupaten-kabupaten di sekitar Danau Toba), jadi terkesan ‘tak tahu malu’ karena tampak membiarkan Danau Toba terabaikan begitu saja dinegeri sendiri, padahal dia diagung-agungkan secara populer di luar negeri.
“Citra Danau Toba sebagai salah satu situs dunia yang sekelas dengan objek wisata Yellowstone di Amerika Serikat itu, seharusnya menumbuhkan tekad kita agar Danau Toba ini tercatat resmi menjadi warisan dunia melalui divisi khusus di PBB, seperti Yellowstone itu. Ini sungguh ironis, kita (Danau Toba) sudah dapat status atau citra sebagai situs dunia, tapi kok tidak di-follow-up masuk registrasi. Seharusnya kita malu, Danau Toba itu seakan kita biarkan sebagai kubangan teronggok begitu saja, sehingga banyak orang bilang kini menjadi ‘jamban raksasa’ saja”, katanya prihatin.
Untuk ini, menurut anggota DPRD Sumut Sopar Siburian SH SpN dari komisi yang antara lain membidangi pariwisata, menegaskan perlunya kebijakan khusus dari pemerintah mulai tingkat pusat hingga daerah (propinsi dan lintas kabupaten) untuk menetapkan posisi Danau Toba sebagai objek wisata yang representatif di mata wisata dunia.
“Idealnya Danau Toba ini harus pula dijadikan sebagai profil gapura wisata Indonesia bagian barat. Proyeksi garis lurus menunjukkan Parapat atau Danau Toba ini bisa akses langsung ke negara-negara sumber wisatawan mancanegara, baik dari Eropa, Timur Tengah, apalagi Asia atau ASEAN. Kita memang sangat bangga karena Danau Toba lebih populer di luar negeri seperti Belanda dibanding di Indonesia sendiri”, katanya kepada SIB, setelah kembali dari perjalanan wisatanya ke Turki, belum lama ini.
Bahkan, disela-sela acara penandatanganan naskah kerja sama (MoU) tentang sistem reservasi online pariwisata IMT-GT antara Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Sumut dengan Standar Online Tourism Architecture (SOTA) Malaysia di Tiara Convention, Jumat petang (15/1) kemarin, Direktur Eksekutif BPPD Sumut Arthur Batubara MSc juga membenarkan dan menegaskan bahwa sejumlah tour operator asing di berbagai negara luar juga mencantumkan objek wisata Danau Toba sebagai salah satu destinasi pilihan, selain pulau Bali.
OTORIOTA DANAU TOBA, KAPAN…?
Konon, popularitas wisata Danau Toba di Belanda bermula dari kunjungan rombongan Ratu Wilhelmina pada tahun 1940-an silam. (Namun, belum diperoleh catatan atau data resmi apakah kunjungan itu berlangsung sebelum atau sesudah Agresi Belanda di Indonesia pada Desember 1948, yang antara lain mengakibatkan Presiden RI Soekarno saat itu diasingkan ke Parapat). Tapi, yang jelas, banyak pihak mengakui Danau Toba memang populer di Belanda hingga kini sehingga turis asal Belanda ke Sumut masih tetap mendominasi pelancong asing asal Eropa.
Itulah sebabnya, ujar Sopar sang putra Parlilitan Humbang Hasundutan, ingin agar Danau Toba kelak benar-benar ‘hidup’ dalam arti sebenarnya sebagai objek wisata yang bernilai ekonomi dari semua elemen potensinya, baik potensi budaya, potensi sejarah, potensi lingkungan hidup, potensi bahan dsb yang terkandung alami dan abadi para objek wisata Danau Toba. Apalah melalui konsep kebijakan otorita, atau sistem semacamnya.
Salah satu konsepnya, menurut Sopar, adalah penataan dan pengelolaan objek-objek instrumental lintas Danau Toba oleh daerah masing-masing. Misalnya, daerah Humbang menata dan menjual objek wisata Danau Toba yang ada di bagian atau kawasan Sipinsur (10 kilometer dari Lintong Nihuta), yang panoramanya luar biasa karena bisa menatap sebagian besar kawasan pantai Danau Toba dari ketinggian 1.200 meter diatas permukaan laut, plus sambil rileks main layang-layang atau menikmati penganan hangat khas Batak seperti ombus-ombus atau jagung bakar di bukit itu.
Lalu, Samosir bisa menata dan menjual pantai Tomoknya sebagai dermaga halte wisata, atau Onan Runggu sebagai objek panorama ujung pulau Samosir. Sehingga Samosir tak hanya dikenal dengan Pantai Tomok atau Tuktuk dan Simanindo serta Pangururannya saja. Simalungun mungkin bisa ekspansi menjual Bukit Simarjarunjung atau Bukit Tanjung Unta yang dulu pernah dicanangkan Bupati Djabanten Damanik sebagai ‘ring road-nya’ wisata Danau Toba di Simalungun selain Parapatnya. Tapanuli Utara bisa kembangkan Pantai Muara sebagai pusat wisata tirta misalnya untuk lomba speed boat kelas internasional. Tobasa secara khusus kembangkan potensi Bandara Sibisa sebagai distribution of point (dop) para turis dari manapun yang akan ke Danau Toba, selain upaya pengembangan Pantai Binanga Lom atau Pasar Tradisionil di Pantai Ajibata. Lalu, Dairi bisa kembangkan objek wisata Silalahi di Paropo sebagai pusat penikmatan ikan pora-pora yang nyaris punah, plus Tanah Karo bisa kembangkan objek wisata Tongging menjadi pusat wisata ketangkasan olahraga udara, misalnya terbang layang (gantole), lompat tebing (bungy), dsb sehingga tak hanya sebagai objek panorama saja seperti selama ini.
Hal senada juga disebutkan Mangaliat Simarmata, bahwa konsep penataan wisata secara intrumental lintas daerah itu hanya bisa diwujudkan melalui kebijakan otorita. Paling tidak, hal itu akan menghindari tradisi buang badan atau lepas tangan dari setiap kepala daerah kawasan Danau Toba, dengan masing-masing dalih atau alasan sektoralnya, seperti yang terjadi selama ini.
“Kita sempat semangat, ketika beberapa tahun lalu sudah muncul semangat untuk membentuk badan atau kebijakan otoritas untuk pembangunan wisata Danau Toba itu. Tapi sekaligus saya pun sedih karena potensi dan prospek Danau Toba masih begini-begini saja terus, apalagi pemerintah kita, mulai dari tingkat pusat sampai propinsi dan kabupaten, selama ini cuma bisa janji-janji sehingga turis yang datang segitu-segitu saja terus…Niat dan semangat itu tidak dibarengi tekad, sehingga kita tak tahu, kapan otorita Danau Toba itu terwujud”, papar Mangaliat dengan nada prihatin, sembari nyaris menangis di hadapan 60-an peserta rapat dan diskusi ‘Save the Tao’, belum lama ini.