Selasa, 04 Desember 2012

Hukum Mengucapkan “Selamat Natal” Bagi Umat Islam

Hukum Mengucapkan “Selamat Natal” Bagi Umat Islam

Hukum Mengucapkan “Selamat Natal” Bagi Umat Islam
SELAMA ini, posisi dan sikap para sahabat Nabi dan ulama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah akidah adalah jelas dan tegas, begitu pun kaitannya terhadap perayaan hari-hari besar agama lain, termasuk Natal.

Mengenai hal ini, ada dua pendapat; ada ulama yang memperbolehkan umat Islam utk mengucapkan “Selamat Natal”, dan ada sebagian ulama yang melarangnya. Setiap pendapat berlandaskan dalil-dalil yg kuat, baik itu al-Quran maupun Sunah.

Secara umum, perbedaan pendapat para ulama ini mengerucut kepada satu hal saja; apakah ucapan selamat bagi kaum kristiani yg merayakan Natal ini masuk ke dalam kategori akidah ataukah masih dalam koridor muamalah?


Sebagian ulama, klasik maupun kontemporer, melarang umat Islam untuk ‘ikut campur’ dengan perayaan agama lain, tak terkecuali Kristen, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syeikh al-Utsaimin, dan lainnya, dengan dalil-dalil sebagai berikut:

Pertama, mau tidak mau permasalahan ini akan masuk ke dalam ranah akidah, karena perayaan natal bukanlah hal yg sembarangan dalam keyakinan kaum kristen. 25 Desember dalam keyakinan nasrani adalah hari ‘lahirnya tuhan’ atau ‘lahirnya anak tuhan’. Maka tidak ada toleransi dalam akidah, bahkan AllahSubhanahu wata’ala. sudah secara jelas dan tegas meluruskan klaim ini (lihat surat al-Ikhlas: 3 atau al-Maidah: 72 & 116, dll).

Ibnu Taimiyah dalam kitab “Iqtidhâ’ Shirâti’l Mustaqîm, Mukhâlafatu Ashâbi’l Jahîm,” (Dar el-Manar, Kairo, cet I, 2003, hal 200) juga melarang untuk ber-tasyabbuh dengan hari besar kaum kafir, karena hal itu akan memberikan efek ‘lega’, bahwa umat Islam ‘membenarkan’ kesesatan yang mereka lakukan.


Beda lagi dengan hari-hari kenegaraan, atau hari ibu dan sebagainya, tidak ada unsur akidah di dalamnya, maka dari itu masih dapat ditolerir.

Kedua, Qiyas awla dari firman Allah; “إلا من أكره و قلبه مطمئن بالإيمان” “kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman” (al-Nahl: 106). Apakah jika kita tidak mengucapkan selamat, kita akan dibunuh?.


Ketiga, toleransi antar umat beragama tidak harus dengan mengucapkan “Merry Christmas“, dengan berakhlakul karimah dan memperhatikan hak mereka sebagai manusia, tetangga, masyarakat, dan lainnya sudah cukup mewakili itikad baik kita untuk hidup damai, bersama mereka.

Apalagi dalam Islam, masih banyak momentum yg lebih ‘bersahabat’ untuk mengungkapkan pengakuan kita terhadap keberagaman ini. Sebut saja hadits Nabi yang menganjurkan kita agar melebihkan ‘kuah sayuran’ untuk diberikan kepada tetangga, atau hadits lainnya yang menunjukkan amarah Nabi kepada seseorang yang mendapati tetangganya kelaparan, tapi tidak mengulurkan bantuan. 

Kebetulan hadits-hadits tersebut tidak mengkhususkan bagi sesama Muslim saja, tapi umum bagi sesama manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Bagi yang tidak punya tetangga Nasrani, saya kira dengan menghormati hari raya mereka, tanpa mengganggu apalagi merusak, adalah lebih dari cukup. Cukup dengan kata ‘silahkan’, bukan dengan kata ‘selamat’.
KeempatSaddu al-Dzarî’ah, mencegah diri agar tidak terjerumus kepada hal yang dilarang.


Beberapa ulama kontemporer seperti Dr Yusuf Qaradhawi dan Musthafa Zarqa membolehkan hal ini dengan beberapa pertimbangan;

1) Firman Allah Swt.:
“لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين و لم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم و تقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين”
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8).

2) Sikap Islam terhadap Ahlul Kitab lebih lunak daripada kepada kaum musyrikin; para penyembah berhala. Bahkan al-Quran menghalalkan makanan serta perempuan (untuk dinikahi) dari Ahli Kitab (al-Maidah: 5). 

Dan salah satu konsekuensi pernikahan adalah menjaga perasaan pasangan, berikut keluarganya. (Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Aqalliyyât al-Muslimah, Dar el-Syuruq, cet II, 2005, hal 147-148). Apalagi hanya dengan bertukar ucapan “Selamat”.

3) Firman Allah Subhanahu Wata’ala:

“و إذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها”

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (al-Nisa: 86).

4) Pada satu riwayat, seorang Majusi mengucapkan salam kepada Ibnu Abbas “assalamualaikum“, maka Ibnu Abbas menjawab “waalaikumussalam wa rahmatullah“. Kemudian sebagian sahabatnya bertanya “dan rahmat Allah?”, beliau menjawab: Apakah dengan mereka hidup bukan bukti rahmat Allah.[ Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Aqalliyyât al-Muslimah, Dar el-Syuruq, cet II, 2005, hal 147-148]

5) Pada masa kini, perayaan natal tak ubahnya adat-istiadat, perayaan masyarakat atau kenegaraan.[ Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Aqalliyyât al-Muslimah, Dar el-Syuruq, cet II, 2005, hal 147-148]

6) Hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Sallallahu alaihi wassallam pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianut jenazah tersebut.


Dr. Abdussattar Fathullah Said adalah profesor bidang Tafsir dan Ulumul Quran di Universitas Al-Azhar, Mesir. Dalam masalah tahniah (ucapan selamat) ini beliau agak berhati-hati dan memilahnya menjadi dua. Ada tahniah (ucapan selamat) yang halal dan ada yang haram:

Tahniah (ucapan selamat) yang halal adalah tahniah (ucapan selamat) kepada orang kafir tanpa kandungan hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Hukumnya halal menurut beliau. Bahkan termasuk ke dalam bab husnul akhlaq yang diperintahkan kepada umat Islam.

Sedangkan tahniah (ucapan selamat) yang haram adalah tahni’ah kepada orang kafir yang mengandung unsur bertentangan dengan masalah diniyah, hukumnya haram. Misalnya ucapan tahniah (ucapan selamat) itu berbunyi, “Semoga Tuhan memberkati diri anda sekeluarga.” Sedangkan ucapan yang halal seperti, “Semoga tuhan memberi petunjuk dan hidayah-Nya kepada Anda.”

Bahkan beliau membolehkan memberi hadiah kepada non Muslim, asalkan hadiah yang halal, bukankhamar (minuman keras), gambar maksiat atau apapun yang diharamkan Allah.


Yang menjadi pertanyaan adalah; bukankah ucapan tahniah (ucapan selamat) yg berbunyi, “Semoga Tuhan memberkati diri anda sekeluarga” lebih bersifat sindiran daripada ucapan selamat?. Menurut penulis, Prof Dr Abdussatar, secara tidak langsung telah melarang kita untuk mengucapkan ‘Selamat Natal’, karena ada konsekuensi akidah dibelakangnya.


Hal ini pernah dipermasalahkan, saat beberapa kelompok menggaungkan PNB (Perayaan Natal Bersama) sebagai wujud toleransi antar umat beragama, seakan-akan seperti ingin menunjukkan bahwa umat Islam yang tidak merayakan natal bersama berarti tidak tolerir, tidak menghormati umat Nasrani.


Dalam masalah ini, semua ulama sepakat bahwa menghadiri perayaan hari besar agama lain adalah HARAM hukumnya. Kemudian bagaimana seharusnya sikap kita kepada presiden Indonesia ke-4 dan ke-6 yang menghadiri perayaan Natal, bahkan kyai presiden kita yang sempat ‘didoakan’ oleh umat Nasrani?.


Muhammadiyah selaku salah satu ormas di Indonesia juga telah membahas masalah ini; dalam buku “Tanya Jawab Agama Jilid II”, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, sudah diterangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram.
Untuk saat ini, penulis lebih condong pada pendapat pertama. Yakni pelarangan. Bukan berarti sikap ini dianggap tidak menghargai umat Nasrani, apalagi ingin merusak suasana gembira, karena penulis meyakini kata “silahkan” sudah dapat mewakili kata “selamat”.

Apalagi melihat kondisi tauhid umat yang sedang goyah saat ini, oleh arus pluralisme maupun liberalisme. Maka sudah selayaknya kita membentengi dulu akidah umat, dengan menjauhi hal-hal yang syubhat. Hal ini juga dipegang oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah, bahwa ”Mengucapkan Selamat Hari Natal” dapat digolongkan sebagai perbuatan yang syubhat dan bisa terjerumus kepada haram, sehingga Muhammadiyah menganjurkan agar perbuatan ini tidak dilakukan.

Selain itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diketuai K.H.M. Syukri Ghozali dan Sekretarisnya Drs. H. Masudi pada 1 Jumadil Awal 1401 H./ 7 Maret 1981 telah menyatakan; perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa As, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari aqidah.

Selain itu, MUI juga menfatwakan, mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram. MUI juga mengatakan, agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah subhanahu wata’ala dan tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.Wallahu a’lam bi al-Shawab.