RSBI Dihapus, Fasilitas Sekolah Pun Akan Menyusut | Mudofar mengaku realistis. Menurutnya, sulit bagi sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) untuk tetap menyediakan fasilitas penunjang pendidikan yang sama baiknya saat sudah tidak menyandang lagi status dan kewenangan sebagai sekolah RSBI.
Guru SD Negeri 11 Kebon Jeruk, Jakarta Barat, ini mengatakan dibatalkannya status RSBI oleh MK tentu akan berpengaruh pada berkurangnya fasilitas sekolah yang sudah ada. Pasalnya, sekolah akan kekurangan dana karena tidak bisa lagi memungut donasi dari wali murid.
"Nantinya fasilitas pasti akan berkurang. Mungkin AC atau kelas-kelas tambahan lain. Karena sekolah kan enggak dapat donasi lagi dari wali murid," katanya saat ditemui, Rabu (9/1/2011).
Mudofar melanjutkan, sekolah saja harus mengeluarkan dana sebesar RP 9 juta per bulan untuk biaya listrik. Belum lagi biaya-biaya seperti tagihan internet, biaya untuk ikut lomba-lomba, dan bayaran guru asing yang mengajar Bahasa Inggris. Apalagi guru asing tersebut tidak mau menerima bayaran rupiah, mereka menginginkan bayaran dengan menggunakan kurs dolar.
Dia menyayangkan keputusan MK yang menghapuskan RSBI. Pasalnya, kegiatan siswa di sekolah sudah cukup baik dan efektif. Mereka mendapatkan tambahan pelajaran dari ekstrakurikuler sekolah seperti klub bahasa Inggris.
Selama menyandang status RSBI, komite sekolah memungut biaya sebesar Rp 210.000 kepada wali siswa untuk membayar biaya klub bahasa inggris dan tambahan fasilitas. Bayaran tersebut sudah cukup murah dibanding SD-SD lain yang juga menggunakan sistem RSBI.
"Di sini sudah paling murah Rp 210.000. Kalau di sekolah lain bisa sampai Rp 500.000. Donasi itu semuanya akan kembali ke siswa. Sekolah enggak tahu sama sekali mengenai pengelolaan uang tersebut," ungkapnya.
Oleh karena itu, saat RSBI dihapuskan, Mudofar tahu sekolah akan kesulitan untuk memenuhi segala kebutuhan. Pasalnya, sekolah tidak diperbolehkan lagi memungut biaya tambahan kepada orangtua murid.
MK memutuskan keberadaan status RSBI bertentangan dengan konstitusi. Salah satu pertimbangan utamanya adalah biaya yang mahal mengakibatkan adanya diskriminasi pendidikan. Selain itu, pembedaan antara RSB dan non-RSBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran di sekolah RSBI juga dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.
Gugatan terhadap Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diajukan oleh Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) pada Desember 2011. Dalam pembacaan amar putusan, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dasar putusan MK, menurut Akil, bisa dibaca di berita Ini Alasan MK Batalkan Status RSBI/SBI.
Sumber Kompas.com
Guru SD Negeri 11 Kebon Jeruk, Jakarta Barat, ini mengatakan dibatalkannya status RSBI oleh MK tentu akan berpengaruh pada berkurangnya fasilitas sekolah yang sudah ada. Pasalnya, sekolah akan kekurangan dana karena tidak bisa lagi memungut donasi dari wali murid.
"Nantinya fasilitas pasti akan berkurang. Mungkin AC atau kelas-kelas tambahan lain. Karena sekolah kan enggak dapat donasi lagi dari wali murid," katanya saat ditemui, Rabu (9/1/2011).
Mudofar melanjutkan, sekolah saja harus mengeluarkan dana sebesar RP 9 juta per bulan untuk biaya listrik. Belum lagi biaya-biaya seperti tagihan internet, biaya untuk ikut lomba-lomba, dan bayaran guru asing yang mengajar Bahasa Inggris. Apalagi guru asing tersebut tidak mau menerima bayaran rupiah, mereka menginginkan bayaran dengan menggunakan kurs dolar.
Dia menyayangkan keputusan MK yang menghapuskan RSBI. Pasalnya, kegiatan siswa di sekolah sudah cukup baik dan efektif. Mereka mendapatkan tambahan pelajaran dari ekstrakurikuler sekolah seperti klub bahasa Inggris.
Selama menyandang status RSBI, komite sekolah memungut biaya sebesar Rp 210.000 kepada wali siswa untuk membayar biaya klub bahasa inggris dan tambahan fasilitas. Bayaran tersebut sudah cukup murah dibanding SD-SD lain yang juga menggunakan sistem RSBI.
"Di sini sudah paling murah Rp 210.000. Kalau di sekolah lain bisa sampai Rp 500.000. Donasi itu semuanya akan kembali ke siswa. Sekolah enggak tahu sama sekali mengenai pengelolaan uang tersebut," ungkapnya.
Oleh karena itu, saat RSBI dihapuskan, Mudofar tahu sekolah akan kesulitan untuk memenuhi segala kebutuhan. Pasalnya, sekolah tidak diperbolehkan lagi memungut biaya tambahan kepada orangtua murid.
MK memutuskan keberadaan status RSBI bertentangan dengan konstitusi. Salah satu pertimbangan utamanya adalah biaya yang mahal mengakibatkan adanya diskriminasi pendidikan. Selain itu, pembedaan antara RSB dan non-RSBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran di sekolah RSBI juga dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.
Gugatan terhadap Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diajukan oleh Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) pada Desember 2011. Dalam pembacaan amar putusan, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dasar putusan MK, menurut Akil, bisa dibaca di berita Ini Alasan MK Batalkan Status RSBI/SBI.
Sumber Kompas.com