Mengapa Ada Korupsi ? Makanya harus tahu dahulu Sejarah Korupsi | Korupsi menurut sejarah memang sudah lama eksis di Negeri Ini. Namun, kita harus bertekad untuk menghilangkannya betapa pun memakan waktu lama. Kita perlu membaca dan mempelajari sejarah kita sendiri lebih intensif .
Penulis merasa terkejut bercampur rasa prihatin setelah membaca keterangan dari Prof. Dr. Hj. Nina Lubis dari Universitas Padjadjaran-Bandung baru-baru ini, bahwa dikalangan siswa minat belajar sejarah semakin berkurang. dalam pertemuan guru-guru sejarah tingkat SMA di Jakarta, dibicarakan mengenai siswa yang mengabaikan sejarah dan faktor penyebabnya lantaran mata pelajaran sejarah tidak diuji dalam Ujian Nasional (UN). Penulis menjadi tercenung dibuatnya. Maklum, penulis berpendapat bahwa belajar dan mengenal sejarah bangsa sendiri itu sangatlah penting maknanya dalam membangun karakter bangsa ini.
Ambil sebagian contoh soal korupsi yang tengah melanda Indonesia, yang disebut “negara paling korup di dunia”. Kenapa sampai begitu? Tentu banyak alasan yang bisa dikemukakan, tapi kalau membaca sejarah kita akan lebih mengerti. Korupsi sudah ada sejak zaman VOC atau Kompeni Belanda berabad-abad yang lalu. VOC memegang monopoli perdagangan dan Opperkoopman atau pedagang yang mengepalai organisasi, yang merupakan sosok utama dalam perdagangan.
Dalam praktik justru Opperkoopman memberi contoh buruk, karena selain berdagang untuk VOC dia sendiri memuat dalam Kapal Kompeni barang pribadinya sendiri untuk diperjualbelikan dan dengan begitu memperoleh penghasilan yang tidak disetorkan kepada Kompeni. Orang pribumi tentu melihat korupsi pegawai Belanda tadi dan dengan caranya pula mereka meniru perbuatan tersebut.
Tiap tahun VOC di Batavia mengirim laporan kepada Heren XVII di Negeri Belanda yang disebut Missieven. Di dalamnya selalu dilaporkan tentang keadaan di Jawa bahwa Elka Regent Zinj Chinees, tiap Regent (bupati) mempunyai Cinanya sendiri, dengan kata lain, kolusi antara pejabat dan pedagang Tionghoa sudah lama di negeri ini, secara turun-temurun. Barang kali ada benarnya pendapat Bung Hatta bahwa korupsi telah membudaya di negeri ini.
Dirk Vlasblom Antropolog budaya menulis dalam bukunya (2005) mengenai Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Dia mengatakan bahwa negara (Indonesia – red ) adalah sentralistis dan hierarkhis, tapi lemah. Kesadaran tentang kepentingan umum nyaris tidak berkembang. Memperoleh sebuah jabatan publik menciptakan kewajiban-kewajiban, tidak terhadap publik yang anonim (tak dikenal), tetapi terhadap orang-orang yang telah memuluskan jalan baginya dan terhadap pengikut-pengikutnya seperti keluarga, kawan sekampung, atau sedaerah. Jabatan-jabatan pemerintah ialah posisi-posisi untuk dimanfaatkan. Dana-dana umum tidak dianggap milik masyarakat bersama, tetapi sebagai tempat makanan bagi para pemegang kekuasaan yang mereka pakai untuk memperkuat jaringan-jaringan mereka dan dengan begitu posisi-posisi kekuasan akan semakin terjalin erat dan kuat.
Para sosiolog menamakannya suatu pola budaya (cultuurpatroon), yaitu suatu kebiasaan yang sudah mendalam dan dengan diam-dian diterima di kalangan luas. Para mahasiswa yang menentang Presiden Soeharto menciptakan akronim KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Tiada seorang pun di Indonesia yang menyangkal, bahwa setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, ternyata KKN bukan semakin berkurang bahkan semakin bertambah banyak dan lebih hebat serta menjadi tradisi atau suatu pola budaya.
Korupsi juga menciptakan kemiskinan. Warga negara membayar terlalu banyak untuk jasa pelayanan dari pihak pemerintah. Pegawai tetap dibayar sedikit gajinya, perusahaan didorong berbiaya tinggi, investor luar negeri tidak datang, pertumbuhan ekonomi mandeg. Berbarengan dengan itu, ia membuat yang kaya menjadi lebih kaya, karena kekuasaan telah dijadikan uang. Para menteri tinggal di rumah-rumah yang dari gaji mereka tidak mampu mereka bayar. Bahwa politisi hampir tanpa kecuali terjebak dalam suatu jaringan ikut bersalah, menimbulkan sebuah paradoks. Mereka ikut menyanyikan perlunya memberantas KKN, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk itu. Bahasa Indonesia mengenal sebuah ungkapan untuk lingkaran setan ini yaitu “ Tahu Sama Tahu” alias te-es-te ( TST ).
Kita patut bersyukur, karena pada tahun 2002, akhirnya DPR setelah lama ragu, akhirnya memutuskan untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengambil alih tanggung jawab dalam menyelesaikan perkara-perkara besar korupsi dari polisi dan kejaksaan serta aparat yang tertular oleh KKN.
Dalam hal pemberantasan korupsi ini, ada berita bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima pengurus Transparansi International Indonesia (TII) yang ketua dewan pengurusnya ialah Todung Mulya Lubis. Presiden SBY menegaskan kembali komitmennya untuk memberantas korupsi dengan tak akan adanya moratorium atau penghentian. Todung melaporkan kepada Presiden hasil survei TII yang antara lain menemukan bahwa “ lembaga vertikal tak mendukung pemberantasan korupsi. Lembaga yang dimaksud adalah polisi, pengadilan, pajak, badan pertanahan, imigrasi, bea dan cukai, serta militer”. Setelah membaca berita tadi, kita tunggu sajalah apa yang akan terjadi seterusnya ? Bisakah “kolusi” yang dalam bahasa Belanda disebut Handjespak benar-benar dihentikan.
Belakangan media juga repot memberitakan tentang peristiwa Polri Versus KPK yang akhirnya diselesaikan oleh Presiden SBY “secara adat” (apapun makna istilah itu), mereka berebut perihal penyidikan terhadap kasus korupsi “Simulator SIM” yang nota bene tersangkanya adalah petinggi Polri sendiri, keduanya merasa berhak dan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut, setelah ramai gonjang-ganjing diberitakan di berbagai mass media baik cetak maupun elektronik, akhirnya Presiden SBY turun tangan untuk menengahi perseteruan tersebut.
Walaupun demikian, kita tidak boleh kendor semangat. Korupsi menurut sejarah memang sudah lama eksis di negeri ini. Namun, kita harus bertekad untuk menghilangkannya betapa pun memakan waktu lama. Kita perlu membaca dan mempelajari sejarah kita sendiri lebih intensif .
Pejabat Tak Paham Kriteria Korupsi
Saat ini sekitar 40 persen anggaran pembangunan tidak terserap masyarakat, karena para pejabat khawatir tersangkut perkara korupsi. Mayoritas pejabat pemerintahan, masih belum paham mengenai tindak pidana korupsi. Untuk itu, penulis pun baru-baru ini telah memaparkan pengertian tindak pidana korupsi kepada ratusan ulama dan pejabat dinas di lingkungan Pemprov dan Pemkot Bandung yang menjadi peserta semiloka.
Berdasarkan UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada 13 pasal yang menyebutkan definisi tindak pidana korupsi. Antara lain, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, gratifikasi, dan tindakan yang menimbulkan kerugian keuangan negara.
Sedangkan tindak pidana yang terkait tindak pidana korupsi antara lain merintangi proses pemeriksaan korupsi, tidak memberi keterangan atau memberi keterangan tidak benar, saksi atau ahli tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, dan saksi yang membuka indentitas pelapor.
Penulis lantas memberi contoh tindak pidana korupsi dalam kehidupan sehari-hari. “tidak meminta resi pada petugas parkir sebenarnya kita mengajarkan petugas itu untuk melakukan korupsi”.
Berdasarkan survei Transparansi Internasional Indonesia tahun 2011, indeks pemahaman tindak pidana korupsi di Indonesia sebesar 2,4 dari skala 1-10. “Finlandia memiliki indeks tertinggi sebesar 9,6, padahal di negara itu tidak ada aturan mengenai korupsi. Di negara kita yang banyak aturan mengenai korupsi malah indeksnya kecil”.
Penulis berharap para ulama agar memberi pengertian yang benar mengenai tindak pidana korupsi pada umatnya. Dengan pendekatan agama, korupsi atau tindakan kejahatan lainnya akan lebih mudah dihindari. Senada dengan penulis, ketua umum MUI kota Bandung, Dr. KH. Miftah Faridl, baru-baru ini mengatakan, bahwa agama Islam lebih mengedepankan pencegahan dari pada pemberantasan tindak kejahatan, termasuk korupsi. “menurut isyarat ayat 45 Surat Al-Ankabut, kekuatan spirit yang mampu mencegah segala bentuk kejahatan adalah sholat”.
Untuk meningkatkan pemahaman para pejabatnya terhadap tindak pidana korupsi, Badan Pengahttp://media.hariantabengan.comwas Daerah (Bawasda) di setiap kota/kabupaten wajib mensosialisasikan dan menyelenggarakan disiminasi Inpres No.5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi. Hal ini dimaksudkan, agar Bawasda bisa mendeteksi semenjak dini jika ada proyek-proyek yang berbau korupsi, selain itu pula dengan adanya bekal pengetahuan dan pemahaman tentang tindak pidana korupsi diharapkan para pejabat di lingkungan Pemda setempat tidak merasa takut untuk melakukan sesuatu yang sifatnya pembangunan fisik maupun non fisik untuk kesejahteraan masyarakat.
**(Hakim Peradilan Umum RI Pada Pengadilan Negeri Palangka Raya.