Kamis, 10 Januari 2013

UU Ketenagakerjaan VS Penunggak Gaji

UU Ketenagakerjaan VS Penunggak GajiIsu sepakbola nasional seakan tidak ada habisnya. Masalah timbul tenggelam seiring deadline waktu penyelesaian masalah sepakbola nasional oleh FIFA Maret 2013 mendatang.

Melihat masalah sepakbola nasional, memang tidak bisa dilepaskan dari Kepentingan segelintir pihak. Baik pihak yang Pro dan Kontra, semuanya memiliki andil besar akan masalah tersebut. Akibatnya, pemain sepakbola sebagai aktor utamalah yang paling terkena imbasnya. Mulai dari pelarangan pemain berseragam Timnas, Intimidasi, hingga masalah Gaji pemain yang sampai saat ini belum Jelas dan Kapan akan terbayar. Pelajaran dari Almarhum Diego Mendeita mencerminkan begitu Bobroknya pengelolaan industri sepakbola tanah air. Kali ini, penulis akan fokus pada masalah Tunggakan Gaji Pemain.


Gaji Tertunggak

Sepakbola kini memang sudah menjadi industri. Klub sepakbola profesional, di mana tempat pemain mengadu nasib harus berbadan hukum. Karena salah satu syarat klub itu profesional adalah berbadan hukum dan mandiri dalam arti lepas dari pemerintah (APBD). Kita bisa melihat klub sepakbola di Eropa. Di sana, klub sepakbola telah bertranformasi seperti sebuah perusahaan yang mandiri dan profesional dalam pengelolaannya. Walaupun banyak klub di eropa merupakan klub kebanggaan suatu daerah, tetapi tidak sedikitpun klub “Menyusu” pada pemerintah setempat. Bahkan, pemerintah setempat diuntungkan oleh kehadiran sebuah klub. Kita bisa melihat bagaimana Real Madrid dengan segala apa yang dimiliki, berhasil menjadi salah satu ikon Ibu Kota Spanyol, hingga banyak menarik wisatawan untuk berkunjung.


Hal ini berbanding jauh dengan yang terjadi di Indonesia. Banyak klub di negara ini (yang katanya) profesional masih tergantung dengan pemerintah setempat. Memang, wacana sepakbola industri baru bergulir di Indonesia beberapa tahun belakangan.

Dengan diberlakukannya pelarangan penggunaan APBD untuk kepentingan sepakbola, praktis membuat klub sepakbola yang terbiasa menyusu pada APBD menjadi kelimpungan. Selain itu, ketidakmampuan sebuah klub menggaet sponsor yang Bonafid menjadi faktor lainnya. Akibatnya, pengelolaan klub untuk operasional dalam mengarungi roda kompetisi menjadi berantakan. Masalah yang mencolok adalah tertunggaknya gaji pemain hingga 10 bulan. Bayangkan, pemain seolah seperti Pekerja Rodi di jaman penjajahan yang terpaksa menunda impian hidup layak sebagai pemain sepakbola. Tidak hanya klub di bawah PT. Liga Indonesia, masalah ini juga terjadi pada klub di bawah PT. LPIS selaku operator resmi liga di bawah PSSI juga mengalami nasib serupa.


Undang-Undang Ketenagakerjaan
Masalah gaji pemain yang belum ada kejelasan tentu jangan dibiarkan berlarut. Selama ini, penggunaan undang-undang tersebut belum menjadi wacana yang masif di kalangan pelaku industri sepakbola, khususnya pemain. Pemain seolah tidak berdaya menghadapi ulah para “Steak Holder” klub yang menanungi mereka. Selain itu, pemain sepakbola kita seolah lupa bahwa mereka tak ubahnya Buruh Perusahaan. Buruh saja kalau tidak digaji langsung protes bahkan sampai menggelar demontrasi.


Entah mencoba bersikap Elitis atau Gengsi disamakan dengan buruh, para pemain sepakbola kita seperti seperti tidak punya nyali untuk memperjuangkan nasib mereka. Bahkan isu hangat beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa pelunasan gaji pemain sebagai syarat bergulirnya sebuah Liga (yang katanya) profesional. Jelas di sini pemain menjadi Objek Politik Dagang Sapi oleh pihak yang hanya ingin memanfaatkan situasi. Dalam kacamata penulis, syarat utama sebuah liga harus berada dalam Yuridiksi Federasi yang Sah. Dan pemenuhan hak-hak pemain sudah menjadi Kewajiban Klub.


Berikut ulasan singkat seputar Undang-undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.


Apa yang dimaksud dengan Kontrak Kerja?
Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

Bagaimana membuat kontrak kerja yang memenuhi syarat? Ada saja yang ada di dalamnya?
Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat:
1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
3. Jabatan atau jenis pekerjaan
4. Tempat pekerjaan
5. Besarnya upah dan cara pembayarannya
6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh
7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan ditandatangani para pihak dalam perjanjian kerja.


Apa syarat kontrak kerja dianggap sah?
Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja dianggap sah atau tidak maka wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa :
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu pokok persoalan tertentu
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa :
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1. Kesepakatan kedua belah pihak
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.


Apakah pemain bisa melakukan komplain?
Tentu saja bisa. Dalam pasal 95 Undang – Undang Nomor 13 ditulis bahwa penguasaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan Keterlambatan Pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja.
Gaji/ Upah adalah hak pekerja, kita berhak menanyakan ke bagian manajemen sumber daya manusia (HRD) mengenai upah. Jika negosiasi penyelesaian masalah dengan pihak HRD tidak berhasil, kita bisa melaporkan perusahaan ke Polisi/ Departemen Tenaga Kerja. Pasal 169 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja bisa mengajukan permintaan resmi kepada pemerintah untuk mendapatkan penetapan terhadap berbagai perselisihan industri mengenai pemutusan hubungan kerjanya dengan pengusaha ketika pengusaha tidak membayar upahnya pada waktu yang disepakati selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.

(Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat pada sumber-sumber di bawah.)
Dengan mengacu pada ulasan di atas, sudah semestinya pemain harus lebih agresif dalam memperjuangkan hak-haknya. Undang-undang telah menagtur dengan tegas segala macam hal terkait masalah ketenagakerjaan.

Peran APPI
APPI ibarat sarikat buruh bagi pemain. Peran APPI sangat dibutuhkan ketika ada permasalahan yang menyangkut pemain. Apalagi APPI “Posisi Tawar” yang kuat, karena APPI berafiliasi ke FIPRO dan FIFA. Seharusnya, APPI menjadi ujung tombak dalam Perlindungan pada pemain dari pihak-pihak yang telah Mencederai Hak-Hak pemain di bawahnya. Oleh karena itu, APPI tidak lagi menjadi “Macan Ompong” yang hanya bisa mengaum saja, tetapi APPI harus menjadi Tombak yang siap Membela anggotanya.

Dasar Hukum Kontrak Pemain
Dari semua ulasan di atas, ada satu yang masih menjadi ganjalan. Mengenai dasar hukum apakah ikatan kontrak pemain sepakbola di Indonesia? Kalau dasar hukumnya adalah undang-undang tersebut, maka pemain tidak perlu takut lagi dalam memperjuangkan hak-haknya. Tetapi apabila ikatan kontrak pemain tanpa dasar hukum yang jelas, maka bersiap-siaplah menjadi “Pekerja Rodi” dari pihak-pihak yang hanya ingin memanfaatkan mereka.

Sumber :
1. Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
2. Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
3. Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4. http://www.republika.co.id/berita/sepakbola/liga-indonesia/13/01/04/mg3y9f-beri-rekomendasi-isl-ini-syarat-agung-laksono
5.http://olahraga.kompasiana.com/bola/2013/01/10/uu-ketenagakerjaan-vs-penunggak-gaji-522975.html